Rabu, 15 Februari 2012

Wanita Pertama Yang Masuk Surga


                Suatu ketika, Fatimah bertanya pada Rasullulah. Siapakah perempuan yang kelak  pertama kali masuk surga? Rasullullah menjawab : dia adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah. 
                Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rasullullah sendiri? Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapakah gerangan perempuan itu? Dan apakah yang telah diperbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?
                Setelah minta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Muti’ah. Putranya yang masih kecil bernama hasan diajak ikut serta.
                Ketika tiba dirumah Muti’ah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, “Assalamu’alaikum.....!!”
                “Wa’alaikumsalam! Siapa diluar?” terdengar jawaban yang lemah lembut  dari dalam rumah, suaranya cerah dan merdu.
                “ Saya Fatimah putri Rasullullah, “ Sahut fatimah kembali.
                “Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rasullullah, sudi kiranya berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.
                “Sendirian, Fatimah.?” Tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, yaitu Muti’ah seraya membukakan pintu.
                “Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah.
                “Aduh, maaf ya,” Kata Muti’ah , suaranya terdengar menyesal. “ Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”
                “Tapi Hasan kan masih kecil, jelas Fatimah.
                “Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi ya?, saya akan minta izin dulu kepada suami saya ,” kata Muti’ah dengan menyesal.
                Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pamit dan kembali pulang.
Besoknya ,Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini ia ditemani oleh Hasan dan Husain. Bertiga mereka mendatangi rumah Muti’ah. Setelah memberi salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Muti’ah bertanya.
                “Kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”
                “Ya , juga ditemani oleh Husain,” jawab Fatimah.
                “Ha? Kenapa kemarin tidak bilang? Yang dapat izin Cuma Hasan ,dan Husain  belum. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga,”   Dengan perasaan menyesal , Muti’ah kali ini juga menolak .
Hari itu Fatimah gagal lagi bertemu dengan Muti’ah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh perempuan itu di rumahnya.
                Keadaan rumah Muti’ah sangat sederhana, tak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun , semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal dirumah.
                Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah berada dirumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.
                “Maaf ya, saya tak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya,” kata Muti’ah sambil mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya , kemudian ditaruh diatas nampan. Muti’ah juga mengambil cambuk, yang juga ditaruh diatas nampan.
                “Suamimu bekeja dimana?” tanya Fatimah.
                “Di Ladang” jawab Muti’ah.
                “Penggembala?” tanya Fatimah lagi.
                “Bukan. Bercocok tanam.”
                “Tapi, mengapa kau bawakan cambuk?”
                “Oh itu?” sahut Muti’ah dengan tersenyum. “ Cambuk itu kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok maka tidak jadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya.”
                “Apakah itu kehendak suamimu.?” Tanya Fatimah keheranan.
                “Oh, bukan! Suami saya adalah orang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
                Mendengarkan penjelasan itu , Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian Ia meminta diri pamit pulang.
                “Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi wanita pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, ditengah perjalanannya pulang.” Dia sangat berbakti kepada suami dengan tulus. Prilaku kesetiaan itu bukanlah lambang perbudakan wanita oleh kaum lelaki. Tapi merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai denga prilaku yang sama.                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar